News

Mengenang Hendro Subroto, Wartawan Perang Senior Indonesia

Ia adalah wartawan perang TVRI yang pernah meliput perang Teluk 1991

MATA INDONESIA, JAKARTA – Hendro Subroto bukan anggota militer, namun pengalaman di medan tempur melebihi kebanyakan tentara kita. Ia adalah wartawan perang kebanggaan TVRI, mungkin juga Indonesia, yang pernah meliput perang Teluk 1991 hingga konflik Vietnam-Cina tahun 1979.

Dia juga pernah ikut operasi penangkapan Kahar Muzakkar, menyusup ke Serawak saat konfrontasi dengan Malaysia, meliput perang Kamboja, Vietnam juga misi kemanusiaan PBB. Hingga sejarah Timor Timur sejak pra-integrasi yang membuat dada, pipi, dan jempol tangannya kena tembak tentara Fretilin.

Ya, kontak senjata yang hampir selalu jadi bagian hidupnya, membentuknya sebagai manusia berjiwa petualang, namun toleran dan tidak formal. Perjalanan panjang Hendro Subroto ini nyaris tak terputus selama 30 tahun sejak masuk ke TVRI tahun 1964 sampai pensiun 1993, bahkan sesudah masa itu.

Hendro Subroto
Hendro Subroto

Untuk berhasil menjadi wartawan perang memang perlu pengalaman. Maka Hendro dengan enteng mengatakan, yang perlu dipasang di badan sebagai identitas ketika meliput peperangan adalah tanda golongan darah.

Menarik jika kita mengenang rekam jejak pria kelahiran Surakarta, Hindia Belanda, 18 Desember 1938 tersebut. Masa kecil pendiri FASI (Federasi Aero Sport Indonesia) ini dihabiskan di Solo. Pasca meninggalnya sang Ayah, Hendro tinggal bersama dua saudara kandung. Ibunya, yang dikenal sebagai Bu Mondrorini, adalah pegawai negeri pada kantor pendidikan dan kebudayaan.

Karir wartawan Hendro dimulai saat sang ibu yang memasuki masa pensiun, kesulitan membiayai kuliah Hendro. Padahal Hendro bercita-cita sebagai penerbang. Tidak putus asa, dirinya menimba ilmu dengan seorang tetangganya yang berprofesi wartawan.

Setelah berguru kepadanya, Hendro lantas pergi ke Jakarta. Berbekal surat kaebelece dari seorang tokoh bernama Mardani Karyono ia dikirim kepada Direktur Televisi Moh. Arif. Sejak 1964, jadilah Hendro wartawan TVRI.

Karena cita-citanya jadi penerbang, ia sangat bersemangat tugas di bidang hankam. Januari 1965, ia mengabadikan peristiwa penembakan Kahar Muzakkar. Bung Karno percaya, pemberontak itu telah tewas dari tayangan televisi hasil liputan Hendro. “Untungnya, sejak masa Bung Karno sampai Pak Harto, saya tidak pernah ditugaskan di Istana. Jadi, saya tidak sempat mengalami kultur wartawan feodal dan birokratis, kata Hendro seperti dikutip dari Intisari.

Hingga tiba waktunya, cita-cita jadi penerbang terlaksana. Berbekal kedekatannya dengan sejumlah perwira dan pengalaman jurnalistinya, akhirnya ia meraih Wing Kelas III. Kini total jam terbangnya sekitar 400 jam, selain juga memiliki lima sertifikat air combat mission yang semuanya dia dapat di Timtim.

Hendro Subroto
Hendro Subroto

Empat kali dengan pesawat OV-10, dan sekali naik jet T-33. Bahkan pada 16 Juli 1991 Hendro berkesempatan terbang jurnalistik di kursi belakang pesawat F-16 Fighting Falcon. Penerbangan bersama Letkol (Pnb.) Wartoyo itu tak cuma menempuh waktu 1 jam dan 50 menit, tetapi juga beraerobatik dalam kecepatan 1,3 Mach.

Wing terjun pun ia kantungi, dan sampai sekarang Hendro telah terjun 240 kali. Selebihnya, Hendro mendapat penghargaan dari Departemen Hankam atas liputannya soal integrasi Timtim berupa Anugerah Satya Lencana Seroja dan Satya Lencana Bhakti.

Hendro Subroto
Hendro Subroto

Pada 1991 ia menerima Anugerah Penegak Pers Pancasila dari PWI atas liputannya seputar pemberontakan G-30-S/PKI. Tak kurang, liputan dokumenternya juga membuahkan Piala Vidia dalam Festival Sinetron Indonesia 1995.

Jabatan terakhirnya adalah kepala English News Service, siaran bahasa Inggris TVRI, sambil mencari peluang untuk karier setelah pensiun. Ketika datang tawaran dari sebuah stasiun televisi Australia, ia pun segera menerimanya.Pensiun Hendro dipercepat.

Sesekali ia juga menulis untuk media cetak, di dalam maupun luar negeri, walau ia bilang kemampuan menulisnya terjadi karena “kecelakaan”. Tak diduga, laporan bergambar yang naskahnya hanya empat halaman ketik dihargai 400 ponsterling oleh majalah bulanan Inggris Air Forces edisi Januari 1999.

Usia Hendro pun harus berakhir pada 14 Oktober 2010. Ia meninggal meninggal dunia setelah mengalami sesak napas di Rumah Sakit Qadr Islamic Village Karawaci, Tangerang, Banten, dan dikebumikan pada hari Sabtu 16 Oktober 2010 di Pemakaman San Diego Hill, Karawang.

Meski Hendro sudah tiada, masih ada sejarah kehidupan Hendro yang disimpan sendiri, dan boleh dikata merupakan bagian dari sejarah Indonesia.

Karya tulis
– Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur (1996) ISBN 979-416-420-8, ISBN 978-979-416-420-4 – Pustaka Sinar Harapan
– Perjalanan Seorang Wartawan Perang (1998) ISBN 979-416-580-8, ISBN13: 9789794165805 – Pustaka Sinar Harapan
– Dewan Revolusi PKI : Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia (2007) ISBN 9794168950 – Sinar Harapan
– Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009) ISBN13: 9789797094089 – Penerbit buku KOMPAS

Penghargaan
– Penghargaan Piagam Penegak Pers Pancasila dari Persatuan Wartawan Indonesia Pusat
– Anugerah Tanda Kehormatan Satya Lencana Seroja dan Satya Lencana Bhakti dari Departemen Pertahanan Keamanan RI.

 

(Rayyan Bahlamar)

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close