
MATA INDONESIA, JAKARTA – Bukan hanya faktor eksternal yang berpengaruh besar pada pelemahan mata uang sebuah negara. Kondisi internal pun turut memberi dampak menguat atau melemahnya nilai tukar mata uang, tak terkecuali di Indonesia.
Sebagai negara berkembang, belakangan ini nilai tukar rupiah terus merosot secara perlahan. Rupiah seakan tak banyak berkutik di hadapan dolar AS. Hal yang sama juga terjadi di negara berkembang lainnya seperti Turki, Argentina dan Venezuela. Bahkan, tiga negara itu nasibnya jauh lebih tragis dibanding Indonesia.
Tapi, ada apa sebenarnya dengan kondisi internal Indonesia? Apakah ekonomi nasional kita carut-marut? Atau, ada faktor lainnya yang berdampak pada pelemahan rupiah belakangan ini?
Menjawab hal tersebut, Mata Indonesia berkesempatan mewawancarai secara khusus pengamat ekonomi yang saat ini menjabat sebagai Head of Strategic Innovation MDI Ventures, Aldi Adrian Hartanto, untuk mencari tahu, apa apa dengan kondisi ekonomi dalam negeri. Berikut wawancaranya:
MI: Jadi, apa sebenarnya yang terjadi di internal negara kita? Faktor apa yang paling krusial hingga rupiah melemah?
AA: “Begini, dalam ekonomi itu kan kita mengenal istilah neraca perdagangan, terutama urusan ekspor dan impor. Kalau ekspor kita lebih tinggi dari impor, maka neraca perdagangan untung. Sebaliknya, kalau impor yang lebih tinggi, maka neraca perdagangan akan defisit atau mengalami kerugian.
Ekspor dan impor ini sangat berpengaruh pada nilai tukar mata uang. Kalau ekspor kita tinggi, kan artinya banyak orang lain yang beli barang di Indonesia. Nah, untuk membeli barang dari kita, mereka pastinya butuh rupiah. Ketika rupiah banyak dibutuhkan, maka rupiah menjadi kuat nilai tukarnya.
Sebaliknya, ketika impor kita lebih besar, artinya kita yang justru menjual atau menukar rupiah ke mata uang lain untuk membeli dan memasok barang ke Indonesia, terutama dolar AS. Akibatnya, ketika rupiah ditukar dalam jumlah banyak, maka mata uang kita melemah nilai tukarnya, mata uang lain jadi lebih kuat.
Di Indonesia, kendala utama saat ini adalah neraca perdagangan kita defisit atau mengalami kerugian. Impor kita lebih besar daripada ekspor dalam komponen perdagangan migas maupun non migas.
Seperti perdagangan migas, kebutuhan orang Indonesia melebihi kemampuan produksi yang bisa dicapai oleh negara. Akhirnya, mau tidak mau kita harus impor. Bukan berarti kita tidak mampu memproduksi, tapi kapasitasnya tidak cukup untuk pemenuhan kebutuhan lebih 200 juta masyarakat Indonesia.
Ini sama dengan masalah perdagangan non migas, semisal beras. Produksi beras nasional tak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat yang terlampau banyak. Makanya, daripada kekurangan beras, akhirnya impor. Kalau tidak impor, ditakutkan beras akan mengalami kenaikan dan orang-orang tidak bisa makan nasi.
Saya kira ini faktor paling krusial di internal Indonesia yang mengakibatkan rupiah melemah di hadapan dolar AS.”
MI: Dengan Kondisi Seperti Itu, Apakah Ekonomi Indonesia Terancam Seperti Turki atau Venezuela?
AA: “Justru neraca perdagangan negara seperti Turki, Argentina dan Venzuela itu defisit atau kerugiannya jauh lebih parah dibanding dengan Indonesia.
Kalau kita bicara ekonomi Indonesia, fundamental kita jauh lebih kuat dibanding negara-negara tersebut. Inflasi mereka sangat besar bisa hampir mencapai 10 persen, jauh lebih tinggi dari Indonesia yang tergolong aman, tidak sampai 5 persen per tahun.
Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi kita tergolong stabil pada angka di atas 5 persen. Apalagi jika kita bicara soal kualitas pertumbuhan ekonomi, sekarang ini jauh lebih baik daripada lima atau sepuluh tahun lalu.
Kalau dibandingkan dulu, pertumbuhan ekonomi kita tumbuh 5 sampai 6 persen, tapi inflasi atau kenaikan harga kita 7 sampai 8 persen. Dalam kondisi ini sebenarnya ekonomi kita tidak tumbuh, daya beli tidak naik, hanya harga barang saja yang naik.
Sedangkan sekarang, inflasi rendah, pertumbuhan tetap 5 persen. Ini artinya harga barang naiknya sedikit, tapi daya beli masyarakat meningkat. Maka ekonomi kita tumbuh dalam tingkatan yang sama dengan dulu, tapi daya beli masyarakat naik.
Ada juga nilai investasi yang makin besar, pengangguran berkurang dan kita diberi penghargaan berdasarkan rating kredit internasional bahwa Indonesia adalah negara yang layak untuk diinvestasikan. Ini adalah sentimen yang baik dan memberi kenyamanan untuk investor dalam maupun luar negeri.”
MI: Tapi, apakah ada harapan rupiah akan kembali perkasa, bahkan tembus di bawah Rp 10 ribu per dolar AS dalam waktu dekat ini?
AA: “Sebagai WNI yang baik, ya tentu saya juga berharap rupiah terus menguat dan perekonomian kita terus maju.
Tapi, apakah rupiah bisa menyentuh di bawah Rp 10 ribu per dolar AS, menurut saya itu bisa saja. Hanya, tidak baik dalam keseimbangan ekonomi, terutama berdampak pada sektor seperti ekspor dan impor serta hubungan ekonomi lainnya dengan negara luar.
Jadi, menurut saya, kalaupun rupiah menguat dengan harapan di bawah Rp 10 ribu per dolar AS, hal itu tidak akan terjadi dalam waktu satu, dua atau bahkan lima tahun. Ya, bisa saja terjadi dalam kurun waktu 10 tahun.
Idealnya, rupiah harus menguat secara perlahan agar perekonomian seimbang.” (Awan)