News
Pancasila Terancam, Pemerintah Berwenang Keluarkan Perpu Pembubaran Ormas

Bandung (MI) – Bangsa Indonesia telah berkomitmen bahwa Pancasila merupakan Ideologi negara, oleh karenanya, negara dan seluruh warga negara Indonesia berkewajiban melaksanakan, mengamalkan, melestarikan termasuk mengamankan Pancasila dari berbagai ancaman yang muncul dari manapun.
“Apabila Presiden menilai ada ancaman nyata terhadap Pancasila, Pemerintah berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk mencegah, meniadakan dan menghentikan ancaman tersebut, Pemerintah merupakan simbol kedaulatan suatu negara”, demikian menurut Tugiman, ahli hukum Tata Negara Unpas Bandung, ketika dikonfirmasi oleh Mataindonesia (Sabtu,8/8), terkait dukungan beberapa ormas Islam di Kantor PBNU Jakarta, Jum’at (7/7), yang mendorong Pemerintah untuk menerbitkan Perpu tentang Ormas dan melarang Ormas radikal yang merongrong Pancasila.
Lebih lanjut Tugiman mengatakan, kewenangan Pemerintah untuk mengeluarkan Perpu itu sudah diatur dalam pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”, konsepsi dasar tersebut selanjutnya diatur lebih lanjut pada pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Doktor Ilmu Hukum Unpad Bandung itu menjelaskan bahwa syarat Presiden mengeluarkan Perpu adalah “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,” artinya otoritas kewenangan Perpu itu ada di tangan Presiden, termasuk didalamnya dalam hal menafsirkan mengenai maksut “hal ihwal kegentingan yang memaksa” Dengan demikian wewenang penilaian yang mendasari diterbitkannya Perpu adalah subyektivitas Presiden. Meskipun kemudian Perpu tersebut akan dinilai dan mempersyaratkan adanya persetujuan DPR namun penilaian dan persetujuan DPR tersebut harus menunggu persidangan berikutnya Pasca Perpu tersebut telah dikeluarkan dan diberlakukan (Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011), artinya Perpu itu berlaku setelah diteken oleh Presiden, jelasnya.
Tugiman juga mengutip pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie, tentang Kewenangan Presiden mengeluarkan Perpu yang antara lain….Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu)” (Asshiddiqie, 2010: 209).
Lebih lanjut Tugiman menjelaskan bahwa dalam merancang dan mengeluarkan Perpu, Pemerintah tetap berpijak pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam putusan tersebut ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” sehingga mendasari Presiden untuk menetapkan Perpu, yaitu : Pertama. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; Kedua. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; Ketiga. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan,inilah yang harus menjadi dasar dan pertimbangan Presiden, tandasnya.
Ketika dimintai pendapatnya oleh Mataindonesia terkait maraknya aktivitas Ormas yang berseberangan dengan Pancasila, Tugiman menjelaskan “Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat serta telah menetapkan Pancasila sebagai Ideologi Nasional, maka negara dan seluruh warga negara wajib tunduk dan mentaatinya, sehingga kalau ada kelompok-kelompok yang bertujuan menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila ya harus diingatkan untuk berhenti dan kalau sudah diingatkan tidak juga berhenti, Pemerintah sebagai representasi kedaulatan negara bisa menghentikanya, nah disinilah urgensi Perpu itu,” tandas Tugiman.
Tugiman juga menyitir pepatah “jangan sampai keledai jatuh pada lubang yang sama”, karena menurutnya, sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia, konflik Ideologi pernah terjadi di negeri ini dan menimbulkan korban yang banyak. Ketika itu Pancasila dihadapkan dengan ideologi berbasis agama (kanan) maupun Ideologi Komunis (kiri),sehingga bangsa ini hampir terpecah, pengalaman pahit tersebut tentu tidak boleh terurang lagi, dan kalau saat ini muncul lagi kelompok yang mencoba mengembangkan ideologi tersebut, maka bangsa ini harus menolak dan Perpu itu dapat menjadi salah satu sarananya,tandasnya. (TGM)