Kisah
Pengamat: Aksi Reuni 212, Upaya Jaga Tren Politik Jangka Panjang

Jakarta (MI) – Hari ini, ribuan orang dari berbagai ormas dan kelompok Islam berkumpul di Monumen Nasional (Monas), Jakarta mengadakan aksi yang dikenal dengan sebutan Reuni Alumni 212. Aksi ini diklaim sebagai bentuk ‘reuni akbar’ bagi mereka yang tahun lalu mengadakan aksi serupa untuk menuntut Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dijatuhi hukuman karena dianggap menista agama Islam.
Meskipun berulang kali disangkal oleh para tokoh dan peserta aksi, namun sebagian kalangan tetap meyakini rangkaian aksi-aksi tersebut sangat kental beraroma politik. Alasannya adalah kegiatan tersebut dilakukan di tengah situasi penyelenggaraan Pilkada DKI, yang diikuti oleh Ahok sebagai petahana.
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Muradi menilai, Reuni Akbar 212 merupakan cara untuk menjaga tren gerakan politik yang dibangun oleh segelintir pihak. Mereka berusaha menjaga massa untuk kepentingan politik jangka panjang.
“Mereka mau membangun dan mengembangkan tren. Mau coba dirangkai setelah berhasil di Jakarta,” ujar Muradi, Jumat (1/12/2017).
Hal tersebut sejalan dengan pandangan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang menyebut, Reuni Akbar 212 berkaitan dengan politik, terutama terkait Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019.
Muradi melihat, tidak ada momentum di balik Reuni Akbar 212. Momentum sudah hilang ketika Ahok kalah di Pilkada dan dipenjara karena bersalah telah menista agama.
Muradi menjelaskan, ada tiga cara untuk melihat Reuni Akbar 212 sebagai cara untuk menjaga tren. Pertama, seberapa besar aksi tersebut mendapat respons dari elite politik. Jika mendapat banyak respons positif, maka tidak dipungkiri aksi tersebut bermuatan politik.
Kedua, seberapa besar aksi tersebut mendapat perhatian publik. “Kalau melihat alurnya, dengan jumlah massa yang tidak lebih dari sepuluh ribu itu saya kira political attention nya tidak terlalu besar. Jika diukur satu sampai sepuluh, mungkin dua sampai tiga,” ujarnya.
Cara terakhir, kata Muradi, yakni terkait dengan opini dan sentimen apa yang akan dibangun oleh massa aksi Reuni Akbar 212. Jika sentimen agama kembali dimunculkan, maka agenda politik di balik aksi itu tidak dapat dipungkiri.
“Apakah sentimen agama lagi yang akan dimunculkan atau hal yang lain. Kalau itu direspons oleh publik ini adalah penegasan agenda politik yang murni,” ujar Muradi.
Di sisi lain, Muradi menilai, Reuni Akbar 212 tak ubahnya sebagai sebuah resepsi karena digelar secara formal melaui undangan. Cara itu telah menghilangkan esensi gerakan di mana suluruh perserta terlibat atas inisiatif.
“Jadi kalau kita membayangkan seperti aksi tahun lalu momentumnya sudah hilang. Mereka hanya menciptakan tren,” ujarnya. (AVR)