HeadlineKisah

Pontianak, Benarkah Kota Kelahiran Kuntilanak?

MATA INDONESIA, JAKARTA-Berbicara tentang hantu kuntilanak maka tidak bisa lepas dari sejarah berdirinya Kota Pontianak di Kalimantan Barat. Dalam mitologi masyarakat Melayu, kuntilanak itu dikenal dengan istilah matianak yang berasal dari roh perempuan yang meninggal saat hamil.

Kata pontianak merupakan kombinasi dari kata puan (wanita), ditambah kata mati dan anak. Maka jadilah puan matianak yang kemudian menjadi puntianak. Kota Pontianak dulunya adalah sebuah hutan belantara yang tepat berada di simpang tiga sungai, yaitu sungai Landak, sungai Kapuas dan sungai Kapuas Kecil.

Pada awalnya tempat ini bernama Khun Tien yang banyak dihuni oleh para etnis Tionghoa di sepanjang pesisir sungai Kapuas. Hutan belantara ini kemudian dibuka oleh sekelompok warga yang berasal dari Kerajaan Melayu yang dipimpin oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie.

Mereka menebangi pohon di hutan tersebut dan mendirikan kampungan mulai sejak 23 Oktober 1771 Masehi. Selama proses pembukaan hutan, para warga di usik oleh mahluk halus berwujud kuntilanak.

Hal itu membuat rombongan takut dan ingin menghentikan pekerjaannya untuk pulang. Namun, sultan Syarif Abdurrahman membawa sebuah meriam besar ke tengah hutan dan dinyalakan ke arah sumber bunyi kuntilanak agar kaget.

Siasat inipun pada akhirnya berhasil. Lambat laun, gangguan dari kuntilanak pun berangsur-angsur hilang. Setelah terbuka sultan mencari di mana peluru meriam itu mendarat. Prinsipnya, di mana peluru itu jatuh, maka di sanalah akan dibangun kerajaan baru.

Itulah sejarah berdirinya Keraton Kadariyah Kesultanan Pontianak dan Masjid Jami. Kerajaan yang tetap kokoh sejak 1778 itu juga penanda berdirinya Pontianak.

Untuk mengenang kejadian ini, maka dilestarikanlah tradisi menembak Meriam Karbit. Dulu permainan ini bisa dilakukan kapan saja, meria ini juga dibunyikan sebagai penanda azan magrib.

Namun, kondisi saat ini adalah tradisi meriam karbit dimainkan mulai jelang Lebaran dengan puncaknya malam takbiran hingga tiga hari setelah lebaran, selepas senja hingga hampir tengah malam.

Tak heran, jika saat Ramadan dan sebulan setelah Lebaran, permainan tradisional ini sangat mudah dijumpai hampir di sepanjang Sungai Kapuas. (Tiar Munardo)

 

 

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close