
MATA INDONESIA, JAKARTA – Pada saat perang Manggopoh 1980, kaum ninik mamak, alim ulama, para cendekiawan dan rakyat Kanagarian Manggopoh,begitu geram dengan rezim kolonial Belanda. Mereka pun meluapkan kekesalannya dengan mengangkat senjata Ruduih untuk menjagal para penjajah tersebut.
Bukan tanpa alasan, kekesalan itu disebabkan lantaran Belanda telah melanggar adat sopan santun masyarakat Manggopoh. Sebuah daerah yang kini masuk Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat
“Basamo Ruduih di tangan, di atasnya Al Quran, samo-samo mengucapkan Allahu Akbar, Sajangka indak ka suruik, aso hilang dua tabilang, pado hiduik bacamin bangkai, bialah mati bakalang tanah, siapo nan mungkia janji dimakan kutuak Kalamullah.”
Begitulah sumpah serapah yang diucapkan masyarakat Manggopoh. Sumpah dan janji tersebut memiliki arti, “Dengan pedang ruduih di tangan, di atas Al Quran, sama-sama mengucapakan Allahu Akbar. Sejengkal tidak akan surut, asa hilang dua terbilang, pada hidup bercermin bangkai, biarlah mati berkelang tanah, siapa yang berkianat janji dimakan kutukan Kalamullah.”

Lalu seperti apa Ruduih tersebut? Merangkum dari pelbagai sumber, Ruduih merupakan senjata yang mirip dengan senjata Kelewang atau golok.Perbedaan yang dimiliki Ruduih dengan pedang lainnya yakni sisi tajam yang lebih cenderung cembung ke dalam.
Bentuk bilah tersebut membuat serangan kepada lawan bisa lebih mematikan. Maka tak heran jika senjata ini kerap digunakan oleh para prajurit kerajaan ketika sedang berperang Manggopoh yang berlangsung pada 15-16 Juni 1908.
Kini, keberadaan Ruduih tercatat di dalam Museum Perjuangan Tridaya Eka Dharma, sebagai senjata yang digunakan dalam perang Manggopoh. Sebuah perang yang dipimpin oleh seorang perempuan bernama Siti Manggopoh. Meski tak sepopulis RS Kartini, keberaniannya membuat Belanda kalang kabut. 53 dari 55 tentara Belanda yang bermarkas di Nagari Manggopoh meregang nyawa.
