Headline
Tentang Rohingya: Talk Less Action More

Konflik di Myanmar telah menyita perhatian masyarakat dunia. Pembantaian terjadi terhadap kelompok etnis muslim Rohingya yang tidak diakui sebagai warga negara. Berbagai kecaman disampaikan oleh masyarakat dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Sebelum berbicara banyak dan mengeluarkan argumentasi, masyarakat sebaiknya mengetahui yang sebenarnya terjadi dan melatarbelakangi permasalahan terhadap etnis Rohingya di Myanmar tersebut. Hal ini karena di media sosial semakin gencar masyarakat menyampaikan komentar bahkan kecaman tanpa memahami permasalahan sebenarnya.
Kelompok Muslim Rohingya mengklaim bahwa meraka sudah menetap di sebuah wilayah di Myanmar dari ratusan tahun lalu, saat zaman penjajahan Inggris di kawasan Asia Tenggara. Ketika Inggris menduduki daerah Arakan (Rakhine) pada 1825, ratusan ribu kaum muslim Bangali (Bengali) dibawa ke Rakhine untuk bekerja.
Hal inilah yang kemudian memicu ketegangan etnis di Rakhine dan meruncing setelah Inggris mempersenjatai kelompok muslim Rohingya untuk melawan pasukan Jepang selama Perang Dunia II. Pasukan yang diberi nama Chittagonian V Force itu lebih banyak meneror warga pribumi beragama Buddha yang cenderung dianggap mendukung Jepang. Puncaknya terjadi pada tahun 1942, ketika warga Buddha terlibat saling bunuh dengan gerilyawan pasukan muslim Rohingya.
Setelah kemerdekaan, pada tahun 1948, Myanmar menetapkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang tidak mencantumkan Rohingya sebagai etnis yang diakui negara. Buntutnya, etnis minoritas itu tidak mendapat kewarganegaraan dan semakin rentan terhadap diskriminasi.
Situasi di negara bagian Rakhine kian runyam menyusul Perang Kemerdekaan Bangladesh 1971, yang mendorong eksodus pengungsi ke Myanmar. Tahun 1975, Kedutaan Besar Bangladesh di Myanmar, mengakui ada sekitar 500 ribu pengungsi Bangladesh melarikan diri ke Rakhine. Negosiasi pemulangan pengungsi Bangladesh berlangsung alot antara dua pemerintah. Pada akhirnya, Bangladesh menolak mengakui sekitar 200 ribu pengungsi yang dipulangkan Myanmar. Setelah melewati perundingan panjang, Myanmar setuju menampung para pengungsi tersebut. Selanjutnya, proses pemulangan pengungsi pada dekade 1990-an yang berada di bawah pengawasan PBB itu, berlangsung brutal.
Dengan fakta-fakta ini, masyarakat dapat memahami situasi dan status kependudukan warga Rohingya. Kenyataannya, seluruh warga memang merupakan pendatang, namun telah hidup dan menetap hingga beberapa generasi di wilayah Myanmar. Sentimen keagamaan memang bukan penyebab tidak diakuinya kelompok muslim tersebut oleh Myanmar, melainkan sejarah panjang dari keberpihakan pada zaman kolonialisme lah yang membuat kompleksitas permasalahan tersebut semakin rumit. Terlebih lagi, Myanmar merasa kemerdekaan yang didapat merupakan hasil dari jerih payah mereka dalam membantu Jepang memerangi kolonialisme Inggris yang didukung kelompok Rohingya.
Terlepas dari seluruh aspek historis dan keagamaan, tindakan pemerintah Myanmar yang telah melakukan genosida merupakan extraordinary crime yang tidak dapat ditoleransi. Seluruh masyarakat internasional dari latar belakang agama apapun turut mengecam pembantaian etnis tersebut. PBB bahkan mengeluarkan resolusi agar Myanmar menghentikan dan mempertanggungjawabkan seluruh aksi yang dilakukan militernya. Dalih penggempuran kelompok teroris yang digunakan pemerintah Myanmar, tidak sebanding dengan besarnya jumlah korban tidak bersalah yang tewas akibat kekejaman militer Myanmar.
Dugaan bahwa pemerintah Myanmar mendesain pembantaian etnis kian mengemuka di tengah masyarakat, karena pemerintah Myanmar tidak menggubris tekanan dari negara-negara Islam, bahkan tidak mengindahkan resolusi PBB. Ditambah isu terkait keterlibatan Israel sebagai pemasok senjata Myanmar, mengakibatkan masyarakat muslim di seluruh belahan dunia geram dan beberapa oknum menilai konflik tersebut adalah buah hasil dari sentimen keagamaan.
Namun demikian, kompleksitas permasalahan tersebut sejatinya tidak penting untuk menjadi perdebatan. Saat ini langkah pemerintah untuk mendukung dan memberikan bantuan sudah tepat untuk menjadi solusi sementara penanganan korban Rohingya.
Untuk jangka panjang, pemerintah Indonesia juga perlu berkontribusi memikirkan kelangsungan hidup dari kelompok muslim yang menjadi korban tersebut. Salah satunya adalah dengan mendorong Bangladesh untuk menampung dan mengakui sebagian warga Rohingya yang secara historis memang merupakan warga negaranya. Untuk jangka pendek, Indonesia dapat memberi bantuan pangan dan obat-obatan dan turut menampung korban Rohingya sesuai dengan kemampuan pemerintah.
Indonesia sebagai bagian dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI), perlu memberikan masukan agar negara-negara yang tergabung dalam OKI turut bersumbangsih dengan memberikan tempat bagi kelompok muslim Rohingya di tengah-tengah masyarakat negara masing-masing. Karena menilik dari kompleksitas permasalahan dan tingginya sentimen terhadap kelompok muslim tersebut, bukan tidak mungkin nantinya pembantaian ataupun aksi kekerasan lainnya akan berulang, jika warga Rohingya tetap dipaksakan kembali ke Myanmar.
Penulis : Sandy Arifin