News
Terkait Rangkaian Teror Di Tanah Air, Pengamat Nilai Kurang Tepat Jika Salahkan BIN

JAKARTA – Pengamat politik internasional, Arya Sandhiyudha PhD. menanggapi situasi rangkaian teror yang terjadi belakangan ini.
Doktor Bidang Ilmu Politik dan Hub Internasional lulusan Fatih University, Istanbul, Turki ini menilai bahwa pada umumnya negara maju di dunia memiliki kebijakan kontra-terorisme internasional yang terfokus pada 4 hal, yaitu pencegahan, pengejaran, perlindungan, dan kesiapsiagaan.
“Umumnya intelijen fokus berperan di dua yang pertama ( pencegahan, pengejaran). Tapi di Indonesia pada dua fokus itupun kewenangannya belum penuh,” ujar Arya di Denpasar, Bali pada Senin (14/5).
Untuk diketahui, dalam 3 tahun terakhir, Indonesia sudah mengalami sebanyak 7 kali serangan teroris. Sejumlah tempat mulai rumah ibadah, masyarakat sipil, pemerintah, kedutaan asing, hingga gedung kantor polisi, tidak luput dari serangan-serangan teror.
Menurut Arya, terkait pencegahan atau prevention, merupakan peran seluruh aktor keamanan nasional, termasuk intelijen.
“Tapi intelijen bukan satu-satunya. Sebab kementrian atau lembaga non keamanan nasional juga wajib berperan mengatasi penyebab terorisme di dalam dan di luar negeri, baik ekonomi, budaya, sosial-keagamaan atau politik,” ungkapnya.
Hal itu memastikan bahwa keyakinan keagamaan warga dapat difasilitasi dengan perlindungan penuh dari hukum dan mampu berpartisipasi penuh dalam masyarakat.
Arya menekankan bahwa sejak 2011 pengawasan orang asing sangat lemah, yaitu sejak fungsi tersebut tidak lagi dikelola oleh lembaga dengan kapasitas intelijen memadai.
“Karena dilimpahkan ke lembaga yang hanya bersifat administratif,” ujar Arya.
Kemudian pursuit atau pengejaran, suatu kewenangan yang diberikan secara efektif untuk menangkap para teroris kepada aktor keamanan nasional, termasuk intelijen, namun kewenangan tersebut tidak didapatkan di Indonesia.
“Sementara di negara-negara maju biasanya regulasi selain sangat mendukung meningkatnya kerja gabungan dan pembagian-intelijen antara pemerintah dan hukum lembaga penegak hukum,” katanya.
Di dalam negeri, pemerintah bertujuan untuk membuat negara lebih aman dan membuat pencurian identitas lebih sulit, serta untuk membatasi akses teroris kepada sumber keuangannya.
Selanjutnya protection atau perlindungan, yang memastikan bahwa tindakan pencegahan keamanan terdukung.
Arya menjelaskan, kapasitas militer untuk terlibat menangani ancaman di objek vital nasional perlu dibicarakan antara TNI dan Polri.
“Sebab, sebenarnya DPR RI masuk ke dalam pengesahan akan lebih mudah dan cepat andai antar sektor di internal pemerintah sudah bersepakat,” katanya.
Yang terakhir adalah preparedness atau kesiapsiagaan yang memastikan bahwa negara memiliki orang-orang, lembaga dan sumber daya dengan kapasitas yang sesuai, sehingga secara efektif menangkal konsekuensi serangan teroris.
Kesimpulannya, lanjut Arya, menyalahkan intelijen dalam beberapa kejadian terorisme terkini kurang tepat.
Arya pun menegaskan, intelijen paling maksimal jelas memiliki tanggung jawab peran kunci di dalam pursuit atau pengejaran dan preventing atau pencegahan.
“Lainnya, tidak. Di dua peran itupun tidak bisa sendirian dan dalam beberapa hal secara regulasi masih terbatas,” ungkapnya
Disatu sisi, Arya juga mengajak perlunya hati-hati untuk memahami keterbatasan peran intelijen dalam kontra-terorisme.
“Misalnya, agensi intelijen AS telah menerima beberapa informasi yang relevan sebelum 9/11 tetapi setelah dibagikan ke aktor keamanan nasional lain namun tidak direspon signifikan,” terangnya.
Dia mencontohkan kasus ketika pemerintah Inggris mengerahkan 400 pasukan ke Heathrow pada Februari 2003 guna menginfokan peringatan dini. Namun intelijen gagal dalam mengabarkan kemungkinan adanya serangan.
Arya juga menggambarkan serangan di Madrid pada Maret 2004, dimana terjadi serangan multi-lokasi skala besar tanpa terdapat jelas tanda-tanda sebelumnya dari aktivitas teroris.“Tetapi dengan beberapa peringatan dini intelijen yang relevan berhasil ditangkal sebagian meskipun tidak sepenuhnya bisa ditangkal,” tutur Arya.
Arya Sandhiyudha diketahui pernah menerima Certificate in Terrorism Studies dari International Center for Political Violence and Terrorism Research (ICPVTR) Singapura.
Sekali lagi dengan nada tegas, Arya Sandhiyudha mengatakan bahwa menyalahkan BIN sebagai koordinator intelijen nasional memang kurang tepat. “Karena di sisi lain banyak juga keberhasilan yang di permukaan diperankan lembaga atau aktor keamanan nasional yang lain,” ungkap Arya.
—-(ZN/MCF)